Mama; identitas dan globalisasi
Persembahan di hari Ibu
Membaca tulisan Pak Manneke Budiman yang berjudul “IDENTITAS,
PEREMPUAN, DAN GLOBALISASI; Beberapa Catatan” dalam tulisan ini beliau menjelaskan makna
globalisasi yang dikutip dari Kevin Robins (1997). Dia memaknai
globalisasi sebagai sebuah perubahan dahsyat yang ditandai dengan melemahnya
berbagai struktur dan orientasi dan lahirnya cakrawala-cakrawala baru yang
mengakibatkan terjadinya disorientasi. Hal ini dapat kita rasakan dan bahkan
tidak dapat kita hindari sebagai manusia yang hidup di era millenial yaitu
meruaknya teknologi dan informasi di kehidupan layaknya nafas. Kebutuhan akan
berkomunikasi via elektronik memacu mobilitas informasi yang sangat cepat. Mobilitas
ini juga memengaruhi mobiltas-mobilitas yang lain barang dan komoditas,
informasi dan komunikasi, produk dan jasa. Jika dulu kita hanya dapat
membayangkan pergerakan manusia yang begitu cepat melebihi batas-batas yang ada
dari penjelasan-penjelasan guru kita di sekolah, saat ini kita telah
mengalaminya dalam beberapa tahun terakhir. Kita dapat menikmati negara-negara
lain dengan begitu mudahnya hanya dengan membuka akun Instagram. Pengaruh dari
globalisasi juga menyebabkan pergeseran konsep beberapa cafe dan restoran yang
ada. Bagi generasi millenial, mereka kerap kali mencari cafe ataupun restoran
ang menyediakan wifi dan memungkinkan mereka untuk berselancar di dunia maya.
Yang menarik di sini adalah Ohmae
dan Robin berbeda pandang dalam memaknai globalisasi. Ohmae mengklaim bahwa
globalisasi semata-mata membuat individu dilahirkan bukan untuk menjadi bagian
dari sesuatu melainkan untuk membeli (‘not to belong but to buy’). Namun,
menurut Robin, tidak semua individu dapat berpartisipasi dalam kultur
konsumerisme global yang dibayangkan oleh Ohmae. Robin menegaskan bahwa
globalisasi merupakan sebuah proses yang tidak merata dan penuh dengan
kontradiksi. Pendapat Robin ini sangat menarik perhatian saya dan menjawab
pertanyaan yang selama ini saya pertanyakan. Di hari Ibu ini, saya menulis
ulasan dari artikel yang ditulis oleh Bapak Manneke Budiman sebagai persembahan
saya untuk mama. Saya bukanlah anak yang romantis dengan menelfon mama setiap
ada momen spesial seperti ini karena mama juga tidak akan memahaminya. Saya
hanya bisa mempersembahkan kehidupan baik saya untuk kedua orang tua saya dan
tidak menyakiti mereka.
Well, kembali ke pendapat Robins tentang globalisasi, saya
dapat mengkategorikan mama dan papa saya sebagai individu yang tidak
membutuhkan untuk berpartisipasi atau menikmati kultur konsumerisme dari adanya
globalisasi. Mereka dapat bertahan dan tetap melakukan kegiatan sebagaimana
mestinya. Mereka sebagai agen pemilik modal dan jauh dari kultur konsumerisme.
Pak Manneke mengulas lebih lanjut, reaksi seseorang terhadap globalisasi
ternyata dipengaruhi oleh identitas.
Mama saya membentuk identitasnya
sebagai seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak dengan pekerjaan
membantu usaha suami di rumah. Mama saya adalah seorang yang mempertahankan
identitasnya sebagai perempuan tradisional sehingga pada dirinya tidak terjadi
mobilitas globalisasi. Terlihat jelas bahwa mama saya memposisikan dirinya
sendiri dalam identitas yang dikondisikan oleh foktor-faktor eksternal seperti
pekerjaannya sehari-hari. Maka dapat saya katakan bahwa mama saya merupakan
perempuan yang secara tidak langsung menolak globalisasi. Dengan demikian,
identitas berkaitan erat dengan globalisasi. Keduanya merupakan dua hal yang interchangable. Globalisasi memengaruhi
identitas individu namun di sisi lain identitas individu juga dapat memengaruhi
globalisasi.
Paragraf terakhir dari tulisan ini semakin membantu
pemahaman saya dalam menjawab pertanyaan tentang mama saya. Pak Manneka
menyimpulkan bahwa globalisasi menggiring
individu pada permasalahan yang banyak dan ketidaksetaraan yang baru pada,
namun saat yang sama juga globalisasi memberi peluang bagi
artikulasi-artikulasi keperempuanan yang baru serta lahan garapan feminisme
yang subur justru karena lahirnya banyak tantangan baru tersebut. Membiarkan identitas
diri kita tidak dipatok oleh kuasa manapun, termasuk oleh versi diri kita
sendiri yang esensialis, barangkali dapat menjadi titik tolak suatu politik
identitas perempuan yang baru dan global. Maka pada kalimat terakhir dalam
tulisan ini, saya katakan bahwa layaknya kodrat kehidupan, setiap hal yang ada
dalam kehidupan selalu memberikan dua nilai yakni positif dan negatif.
Selamat hari Ibu, mama. Dirimu
memilih untuk tidak menerima globalisasi dengan jaminan terhindar dari pelbagai
permasalahan dan ketidaksetaraan. Ini terlihat jelas dari dirimu, saya selalu
mendapati dirimu sebagai sosok yang tentram dan damai.
Jum’at, 22 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar